Dari Keluarga Imam Aluk Todolo
Bila mendengar kata misionaris, kita akan langsung mengingat tokoh-tokoh misionaris Zending dari luar negeri. Kitapun dengan mudah bisa menyebur sejumlah penginjil terkenal dalam sejarah masuknya Injil ke Toraja. Tetapi dari pelosok Simbuang, bagian barat Toraja, tidak salah untuk menyebut seorang misionaris tulen, asli orang Simbuang. Dia adalah Lombe’.
Lombe’ lahir tahun 1880 di Buttu Manik, Sima, Simbuang. Dokumen Panitia 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang menulis tanggal lahir Lombe’ pada 10 Mei 1892. Ia meninggal dunia pada 3 Oktober 1985 di Sadipe, pada usia 105 tahun. Ayahnya bernama Sandalinggi` dan ibunya bernama Dodo. Lombe dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Iman Aluk Todolo, sebab itu sejak kecil ia dididik dan dipersiapkan sebagai Imam (To Minaa/To ma’kada).
Saat Lombe’ masih kecil, ayahnya meninggal dunia. Sementara Ibunya dirampas dan dibawa oleh komplotan yang datang menyerang Simbuang. Namun Lombe diselamatkan ke Sangruak (Pinrang) dan di sana ia terus dikader sebagai kader Imam Aluk Todolo. Pada masa mudanya, ia telah menguasai Aluk Todolo di seluruh Toraja bagian Barat bersama dengan tradisi lama masyarakat sekitarnya.
Bertemu Ambo’ Milla’
Sekitar tahun 1900 Lombe’ menjadi anak didik Ambo’ Milla’, seorang muslim yang terkenal dari tanah Bugis. Nama lainnya Maela’ dan bekerja sebagai juru bahasa tentara Belanda. Dari Ambo’ Milla’, Lombe mengenal aksara Bugis/Lontara’. Konon ini satu-satunya aksara yang diketahui Lombe’. Sementara aksara latin atau aksara lainnya buta sama sekali. Ambo’ Milla’ kemudian pindah ke Mamasa. Di sana ia mendengar Injil melalui orang Belanda. Saat itu Belanda sedang berusaha menduduki daerah. Pada akhirnya Ambo’ Milla’ menjadi pengikut Kristus.
Sekitar tahun 1910 Ambo’ Milla’ berkunjung lagi ke Simbuang. Kali ini berperan sebagai juru bahasa orang Belanda. Tak lupa ia bercerita tentang Injil Yesus Kristus kepada Lombe’. Singkat cerita, Lombe’ memutuskan untuk masuk Kristen.
Setelah Ambo’ Milla’ kembali ke Mamasa, Lombe’ menjadi seorang diri sebagai orang Kristen di Simbuang. Untunglah pada tahun 1913 Gereja Belanda membuka sekolah Zending di simbuang. Sebangai guru pertama ialah Tawaluyan dari Maluku. Demikianlah, kini terdapat dua orang Kristen di Simbuang, yaitu Lombe’ dan Tawulayan. (Naskah lain menyebut Supit dari Manado sebagai guru pertama.)
Selama tiga bulan Tawulayan dengan Lombe’ beribadah pada hari minggu di rumah Lombe’. Di luar hari minggu setelah Lombe’ dan Tawulayan mendekati masyara untuk membicarakan tentang pentingnya pendidikan, yang disalamnya tersirat berita Injil. (bersambung)
Iman di Tengah Perang: Pergulatan Komunitas Kristen di Rusia dan Ukraina
Perang antara Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan telah membawa dampak yang luas, tidak hanya dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan spiritual dan emosional komunitas Kristen di kedua negara. Sebagai dua negara dengan tradisi Kekristenan Ortodoks yang kuat, perang ini telah menguji iman, persatuan, dan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Dilema Kesetiaan dan Iman
Bagi banyak umat Kristen, terutama mereka yang berafiliasi dengan Gereja Ortodoks, perang ini menimbulkan dilema yang mendalam. Di Rusia, Gereja Ortodoks Rusia (ROC) memiliki hubungan erat dengan negara dan sering kali mendukung kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan militer. Patriark Kirill, pemimpin ROC, secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap tindakan Rusia, dengan alasan bahwa perang ini memiliki makna spiritual dan geopolitik bagi Rusia. Pandangan ini menuai kontroversi, baik di dalam maupun di luar Rusia, karena dianggap mencampuradukkan agama dengan politik secara berlebihan.
Sementara itu, tidak semua umat Kristen di Rusia menyetujui posisi gereja mereka. Sejumlah rohaniwan dan jemaat secara pribadi menolak perang ini, tetapi mereka menghadapi dilema besar. Mengkritik pemerintah dapat berujung pada represi, termasuk ancaman penjara atau pembubaran gereja mereka. Beberapa pendeta yang secara terbuka menyerukan perdamaian telah ditangkap atau dipaksa mengungsi ke luar negeri. Dalam situasi ini, banyak jemaat terpecah antara kesetiaan terhadap gereja mereka dan suara hati yang menolak kekerasan.
Sebaliknya, di Ukraina, komunitas Kristen merasakan dampak perang ini secara lebih langsung. Banyak gereja yang dihancurkan akibat serangan, dan umat Kristen menghadapi penderitaan yang luar biasa. Gereja Ortodoks Ukraina (OCU), yang mendapatkan pengakuan otonomi dari Patriarkat Ekumenis Konstantinopel pada 2019, semakin menjauh dari pengaruh Gereja Ortodoks Rusia. OCU bersama dengan gereja-gereja lain di Ukraina, termasuk Gereja Katolik Yunani Ukraina dan berbagai komunitas Protestan, memainkan peran penting dalam memberikan dukungan spiritual dan bantuan kemanusiaan kepada para korban perang.
Namun, perpecahan ini tidak hanya terjadi di tingkat institusional, tetapi juga dalam kehidupan pribadi banyak orang. Sebelum perang, hubungan antara umat Kristen di Rusia dan Ukraina masih cukup erat, terutama karena banyak keluarga memiliki anggota di kedua negara. Namun, sejak invasi terjadi, banyak yang merasa dikhianati oleh saudara seiman mereka di Rusia yang diam atau bahkan mendukung agresi ini. Di sisi lain, beberapa jemaat di Rusia juga merasa terpukul karena kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Ukraina akibat perang dan sanksi internasional yang memperburuk hubungan antarwarga.
Penderitaan dan Harapan
Di tengah kehancuran akibat perang, penderitaan yang dialami komunitas Kristen di Rusia dan Ukraina begitu nyata dan menyakitkan. Di Ukraina, gereja-gereja yang dulunya menjadi tempat ibadah kini berubah menjadi tempat perlindungan bagi para pengungsi yang kehilangan rumah mereka. Banyak keluarga terpisah, anak-anak kehilangan orang tua, dan harapan akan kehidupan normal kian pudar. Di medan perang, tentara yang beragama Kristen dari kedua belah pihak menghadapi dilema moral yang besar—bertarung melawan sesama saudara seiman dalam konflik yang dipicu oleh kepentingan politik.
Sementara itu, di Rusia, umat Kristen yang menentang perang menghadapi tekanan besar dari pemerintah dan lingkungan sosial mereka. Para pendeta yang berani menyuarakan perdamaian banyak yang ditangkap atau mendapat pengawasan ketat. Beberapa gereja yang berusaha menyediakan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Ukraina harus menghadapi ancaman pembubaran atau penutupan paksa. Dalam kondisi ini, banyak jemaat merasa terperangkap—antara ingin tetap setia pada ajaran kasih Kristiani, tetapi juga harus berhati-hati agar tidak dianggap sebagai pengkhianat oleh pemerintah mereka sendiri.
Di tengah segala penderitaan ini, secercah harapan tetap ada. Banyak organisasi Kristen dari berbagai negara mengirimkan bantuan kemanusiaan, obat-obatan, dan dukungan moral bagi mereka yang terdampak. Misalnya, World Council of Churches (Dewan Gereja Dunia) dan Caritas International telah menggalang dana serta mengirimkan relawan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Gereja-gereja di negara-negara tetangga seperti Polandia dan Rumania juga membuka pintu bagi pengungsi Ukraina, menawarkan tempat tinggal, makanan, serta dukungan spiritual. Di dalam Rusia sendiri, meskipun dalam kondisi sulit, masih ada komunitas Kristen seperti beberapa kelompok Protestan dan Katolik yang diam-diam bekerja untuk membantu mereka yang membutuhkan, membuktikan bahwa kasih dan solidaritas tidak dapat sepenuhnya dihancurkan oleh perang.
Panggilan bagi Umat Kristen Global
Perang ini mengingatkan kita bahwa iman tidak boleh digunakan sebagai alat politik, melainkan sebagai kekuatan untuk mendamaikan dan membangun kembali. Komunitas Kristen global memiliki tanggung jawab moral untuk berdiri di sisi keadilan dan kemanusiaan. Doa, dukungan kemanusiaan, dan upaya untuk mempromosikan dialog harus terus dilakukan agar perdamaian dapat terwujud.
Pada akhirnya, bagi banyak orang Kristen di Rusia dan Ukraina, perang ini adalah ujian terbesar bagi iman mereka. Di tengah kepedihan dan ketidakpastian, hanya kasih dan pengampunan yang dapat membawa pemulihan sejati.
Salam Pembebasan. [Unu’ (Pimred Tutungan Bia’)]