Membangun Gereja
Demi kesinambungan program pekabaran Injil di Simbuang dan sekitarnya, maka sebelum akhir tahun 1924 Lombe’ membawa seorang putra kelahiran Simbuang ke Sangalla` untuk disekolahkan di sana. Namanya D. Eppang. Setelah tamat sekolah V.O. di Sangalla’, Eppang mengajar sebagai guru sekolah. Ia kemudian melanjutkan sekolah pendeta Gereja Toraja di Barana’ pada tahun 1949. Setelah itu ia dipanggil dan diurapi sebagai Pendeta di Rantebua.
Lombe’ mengajak orang-orang Simbuang yang sudah dibaptis untuk membangun sebuah gedung gereja. Inilah cikal bakal berdirinya Jemaat Sima. Gereja di Jemaat Sima mulai dibangun tahun 1924 dan selesai satu tahun kemudian. Penahbisannya dilakukan tahun 1935.
Memanggil Pendeta
Sebelum penjajahan Jepang, Lombe’ telah berusaha sedemikian rupa agar ada pendeta yang menetap di Simbuang. Tetapi usaha ini barulah terlaksana pada tahun 1943, ketika B. Tulling dipanggil dan diurapi oleh Jemaat Sima. Wilayah pelayanannya meliputi Klasis Simbuang dan Klasis Mappak sekarang ini.
Krisis ekonomi saat Jepang menjajah Indonesia berdampak sampai ke desa-desa. Kehidupan menjadi sangat sulit. Tetapi keinginan luhur untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat, Lombe’ dan orang Kristen Simbuang merintis kemandirian jemaat dalam hal memanggil pendeta. Dengan demikian, sebelum Sinode I Gereja Toraja, Jemaat Sima telah menjadi contoh yang baik dalam mewujudkan kemandirian jemaat di tengah krisis. Inilah untuk pertama kalinya dalam Gereja Toraja, pemanggilan dan pengurapan Pendeta dilakukan atas panggilan Jemaat. Pada saat itu pendeta-pendeta yang bertugas masih dikenal sebagai pendeta Zending.
Komitmen Mendukung Pendeta
Lombe’ adalah contoh penatua yang sungguh mendukung pelayanan pendeta. Ia menjadi penatua sejak tahun 1924 (sesudah dibaptis) sampai awal tahun 1960-an. Ia sangat menekankan keberadaan seorang Pendeta dalam Jemaat.
Pernah terjadi bahwa Jemaat Sima mengalami kekosongan pelayan Pendeta, ketika Pdt. D. Amba dipindahkan ke Ulusalu Rembon. Kekosongan terjadi dari Januari sampai Mei 1979. Pada saat itu Majelis Gereja dan sebagian anggota jemaat berpendapat bahwa ada baiknya Jemaat Sima belum memanggil pendeta lagi agar jemaat berfokus untuk mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan sebagai jaminan pendeta. Apabila dana sudah cukup banyak, barulah memanggil pendeta, supaya jaminannya tidak tersendat-sendat.
Lombe’ tampil menentang ide ini. Ia mengumpulkan Majelis Gereja Jemaat Sima ke rumahnya. Lombe’ menyampaikan nasihatnya dengan tegas bahwa pemanggilan seorang pendeta dalam suatu jemaat sangat penting. Menurut Lombe’, jemaat tanpa pendeta bagaikan anak yatim piatu. Ia sangat tegas menentang jemaat yang ingin menunda pemanggilan pendeta. ”Kalian bertegas untuk tidak memanggil pendeta, maka siapkah diantara kalian berani untuk melayani tugas pelayanan pendeta ?”. Tidak ada satupun majelis gereja yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Keesokan harinya, surat dari Jemaat Sima dikirim untuk memanggil pendeta yang baru. Tidak lama kemudian Pdt. Jhon Matalangi’ diutus untuk melayani di Jemaat Sima.
Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)
Catatan : kisah ini disadur dari surat Majelis Gereja Jemaat Sima sebagaimana dibuat dalam Bulletin Gereja Toraja Edisi 7/8 Tahun XVI, Juli-Agustus 1986 dan Panduan Pelaksanaan Perayaan 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang. Perbedaan data dalam kedua dokumen ini dapat dijadikan bahan studi dan penelitian lebih lanjut, guna memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap.
Iman di Tengah Perang: Pergulatan Komunitas Kristen di Rusia dan Ukraina
Perang antara Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan telah membawa dampak yang luas, tidak hanya dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan spiritual dan emosional komunitas Kristen di kedua negara. Sebagai dua negara dengan tradisi Kekristenan Ortodoks yang kuat, perang ini telah menguji iman, persatuan, dan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Dilema Kesetiaan dan Iman
Bagi banyak umat Kristen, terutama mereka yang berafiliasi dengan Gereja Ortodoks, perang ini menimbulkan dilema yang mendalam. Di Rusia, Gereja Ortodoks Rusia (ROC) memiliki hubungan erat dengan negara dan sering kali mendukung kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan militer. Patriark Kirill, pemimpin ROC, secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap tindakan Rusia, dengan alasan bahwa perang ini memiliki makna spiritual dan geopolitik bagi Rusia. Pandangan ini menuai kontroversi, baik di dalam maupun di luar Rusia, karena dianggap mencampuradukkan agama dengan politik secara berlebihan.
Sementara itu, tidak semua umat Kristen di Rusia menyetujui posisi gereja mereka. Sejumlah rohaniwan dan jemaat secara pribadi menolak perang ini, tetapi mereka menghadapi dilema besar. Mengkritik pemerintah dapat berujung pada represi, termasuk ancaman penjara atau pembubaran gereja mereka. Beberapa pendeta yang secara terbuka menyerukan perdamaian telah ditangkap atau dipaksa mengungsi ke luar negeri. Dalam situasi ini, banyak jemaat terpecah antara kesetiaan terhadap gereja mereka dan suara hati yang menolak kekerasan.
Sebaliknya, di Ukraina, komunitas Kristen merasakan dampak perang ini secara lebih langsung. Banyak gereja yang dihancurkan akibat serangan, dan umat Kristen menghadapi penderitaan yang luar biasa. Gereja Ortodoks Ukraina (OCU), yang mendapatkan pengakuan otonomi dari Patriarkat Ekumenis Konstantinopel pada 2019, semakin menjauh dari pengaruh Gereja Ortodoks Rusia. OCU bersama dengan gereja-gereja lain di Ukraina, termasuk Gereja Katolik Yunani Ukraina dan berbagai komunitas Protestan, memainkan peran penting dalam memberikan dukungan spiritual dan bantuan kemanusiaan kepada para korban perang.
Namun, perpecahan ini tidak hanya terjadi di tingkat institusional, tetapi juga dalam kehidupan pribadi banyak orang. Sebelum perang, hubungan antara umat Kristen di Rusia dan Ukraina masih cukup erat, terutama karena banyak keluarga memiliki anggota di kedua negara. Namun, sejak invasi terjadi, banyak yang merasa dikhianati oleh saudara seiman mereka di Rusia yang diam atau bahkan mendukung agresi ini. Di sisi lain, beberapa jemaat di Rusia juga merasa terpukul karena kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Ukraina akibat perang dan sanksi internasional yang memperburuk hubungan antarwarga.
Penderitaan dan Harapan
Di tengah kehancuran akibat perang, penderitaan yang dialami komunitas Kristen di Rusia dan Ukraina begitu nyata dan menyakitkan. Di Ukraina, gereja-gereja yang dulunya menjadi tempat ibadah kini berubah menjadi tempat perlindungan bagi para pengungsi yang kehilangan rumah mereka. Banyak keluarga terpisah, anak-anak kehilangan orang tua, dan harapan akan kehidupan normal kian pudar. Di medan perang, tentara yang beragama Kristen dari kedua belah pihak menghadapi dilema moral yang besar—bertarung melawan sesama saudara seiman dalam konflik yang dipicu oleh kepentingan politik.
Sementara itu, di Rusia, umat Kristen yang menentang perang menghadapi tekanan besar dari pemerintah dan lingkungan sosial mereka. Para pendeta yang berani menyuarakan perdamaian banyak yang ditangkap atau mendapat pengawasan ketat. Beberapa gereja yang berusaha menyediakan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Ukraina harus menghadapi ancaman pembubaran atau penutupan paksa. Dalam kondisi ini, banyak jemaat merasa terperangkap—antara ingin tetap setia pada ajaran kasih Kristiani, tetapi juga harus berhati-hati agar tidak dianggap sebagai pengkhianat oleh pemerintah mereka sendiri.
Di tengah segala penderitaan ini, secercah harapan tetap ada. Banyak organisasi Kristen dari berbagai negara mengirimkan bantuan kemanusiaan, obat-obatan, dan dukungan moral bagi mereka yang terdampak. Misalnya, World Council of Churches (Dewan Gereja Dunia) dan Caritas International telah menggalang dana serta mengirimkan relawan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Gereja-gereja di negara-negara tetangga seperti Polandia dan Rumania juga membuka pintu bagi pengungsi Ukraina, menawarkan tempat tinggal, makanan, serta dukungan spiritual. Di dalam Rusia sendiri, meskipun dalam kondisi sulit, masih ada komunitas Kristen seperti beberapa kelompok Protestan dan Katolik yang diam-diam bekerja untuk membantu mereka yang membutuhkan, membuktikan bahwa kasih dan solidaritas tidak dapat sepenuhnya dihancurkan oleh perang.
Panggilan bagi Umat Kristen Global
Perang ini mengingatkan kita bahwa iman tidak boleh digunakan sebagai alat politik, melainkan sebagai kekuatan untuk mendamaikan dan membangun kembali. Komunitas Kristen global memiliki tanggung jawab moral untuk berdiri di sisi keadilan dan kemanusiaan. Doa, dukungan kemanusiaan, dan upaya untuk mempromosikan dialog harus terus dilakukan agar perdamaian dapat terwujud.
Pada akhirnya, bagi banyak orang Kristen di Rusia dan Ukraina, perang ini adalah ujian terbesar bagi iman mereka. Di tengah kepedihan dan ketidakpastian, hanya kasih dan pengampunan yang dapat membawa pemulihan sejati.
Salam Pembebasan. [Unu’ (Pimred Tutungan Bia’)]