Kalau ia muda, dianggap kurang pengalaman
Tapi bila rambutnya beruban, ia dianggap terlalu tua
Kalau keluarganya besar, ia adalah beban jemaat
tetapi tidak mempunyai anak, doanya tidak manjur
Kalau isteri/suaminya aktif, dituduh mau menonjolkan diri
Kalau tidak aktif, dianggap tidak mendukung pelayanan suami/istri
kalau khotbahnya membaca, sangat membosankan
kalau luar kepala, tandanya tidak mempersiapkan diri
Kalau berusaha melakukan pembaharuan, dituduh sewenang-wenang
Kalau hanya melanjutkan apa yang ada, ia dianggap tidak kreatif
Kalau khotbahnya banyak ilustrasi, dituduh kurang alkitabiah
Kalau mendalam, dianggap terlalu kaku
Kalau khotbahnya panjang, membuat orang mengantuk
Kalau khotbahnya pendek, ia pendeta pemalas
Kalau gagal menyenangkan hati seseorang, artinya ia menyakiti hati jemaatnya
Kalau berusaha menyenangkan hati semua orang, dituduh penjilat.
Kalau terus terang dalam kebenaran, ia dianggap sengaja menyinggung perasaan
Kalau tidak berterus terang, dianggap pengecut dan penakut.
Ia mesti bijak seperti burung hantu,
gagah berani laksana burung rajawali
Rendah hati seperti burung merpati
Bersedia makan apa saja seperti burung kenari
Ia dituntut mesti menjadi:
seorang ekonom hebat,
seorang politikus handal,
seorang pencari dana untuk pelayanan,
seorang penasihat perkawinan
bapak/ibu yang berwibawa,
sopir taksi yang ramah,
orator yang ulung dan gembala yang arif.
Ia mesti melawat semua orang sakit, semua orang kawin dan semua orang mati
Ia mesti bisa bergaul dengan anak-anak, remaja, pemuda sampai orang tua
Ia mesti pandai bicara dan menulis
Ia mestilah ..... haruslah ...... inilah ..... itulah .....
***
(Dikutip dari Buku Panduan Konsultasi Pendeta Gereja Toraja, 7-11 Agustus 1995, sebagaimana diterjemahkan dari puisi yang berjudul ”Poem of the Shadow”, yang dimuat dalam buku Spiritualitas Nomor 7, diterbitkan oleh LAI dalam kerja sama dengan Pengurus Pusat BKS-PGI-GMKI, tahun 1994).
Jumat, 07 Maret 2025
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian akhir)
Membangun Gereja
Demi kesinambungan program pekabaran Injil di Simbuang dan sekitarnya, maka sebelum akhir tahun 1924 Lombe’ membawa seorang putra kelahiran Simbuang ke Sangalla` untuk disekolahkan di sana. Namanya D. Eppang. Setelah tamat sekolah V.O. di Sangalla’, Eppang mengajar sebagai guru sekolah. Ia kemudian melanjutkan sekolah pendeta Gereja Toraja di Barana’ pada tahun 1949. Setelah itu ia dipanggil dan diurapi sebagai Pendeta di Rantebua.
Lombe’ mengajak orang-orang Simbuang yang sudah dibaptis untuk membangun sebuah gedung gereja. Inilah cikal bakal berdirinya Jemaat Sima. Gereja di Jemaat Sima mulai dibangun tahun 1924 dan selesai satu tahun kemudian. Penahbisannya dilakukan tahun 1935.
Memanggil Pendeta
Sebelum penjajahan Jepang, Lombe’ telah berusaha sedemikian rupa agar ada pendeta yang menetap di Simbuang. Tetapi usaha ini barulah terlaksana pada tahun 1943, ketika B. Tulling dipanggil dan diurapi oleh Jemaat Sima. Wilayah pelayanannya meliputi Klasis Simbuang dan Klasis Mappak sekarang ini.
Krisis ekonomi saat Jepang menjajah Indonesia berdampak sampai ke desa-desa. Kehidupan menjadi sangat sulit. Tetapi keinginan luhur untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat, Lombe’ dan orang Kristen Simbuang merintis kemandirian jemaat dalam hal memanggil pendeta. Dengan demikian, sebelum Sinode I Gereja Toraja, Jemaat Sima telah menjadi contoh yang baik dalam mewujudkan kemandirian jemaat di tengah krisis. Inilah untuk pertama kalinya dalam Gereja Toraja, pemanggilan dan pengurapan Pendeta dilakukan atas panggilan Jemaat. Pada saat itu pendeta-pendeta yang bertugas masih dikenal sebagai pendeta Zending.
Komitmen Mendukung Pendeta
Lombe’ adalah contoh penatua yang sungguh mendukung pelayanan pendeta. Ia menjadi penatua sejak tahun 1924 (sesudah dibaptis) sampai awal tahun 1960-an. Ia sangat menekankan keberadaan seorang Pendeta dalam Jemaat.
Pernah terjadi bahwa Jemaat Sima mengalami kekosongan pelayan Pendeta, ketika Pdt. D. Amba dipindahkan ke Ulusalu Rembon. Kekosongan terjadi dari Januari sampai Mei 1979. Pada saat itu Majelis Gereja dan sebagian anggota jemaat berpendapat bahwa ada baiknya Jemaat Sima belum memanggil pendeta lagi agar jemaat berfokus untuk mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan sebagai jaminan pendeta. Apabila dana sudah cukup banyak, barulah memanggil pendeta, supaya jaminannya tidak tersendat-sendat.
Lombe’ tampil menentang ide ini. Ia mengumpulkan Majelis Gereja Jemaat Sima ke rumahnya. Lombe’ menyampaikan nasihatnya dengan tegas bahwa pemanggilan seorang pendeta dalam suatu jemaat sangat penting. Menurut Lombe’, jemaat tanpa pendeta bagaikan anak yatim piatu. Ia sangat tegas menentang jemaat yang ingin menunda pemanggilan pendeta. ”Kalian bertegas untuk tidak memanggil pendeta, maka siapkah diantara kalian berani untuk melayani tugas pelayanan pendeta ?”. Tidak ada satupun majelis gereja yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Keesokan harinya, surat dari Jemaat Sima dikirim untuk memanggil pendeta yang baru. Tidak lama kemudian Pdt. Jhon Matalangi’ diutus untuk melayani di Jemaat Sima.
Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)
Catatan : kisah ini disadur dari surat Majelis Gereja Jemaat Sima sebagaimana dibuat dalam Bulletin Gereja Toraja Edisi 7/8 Tahun XVI, Juli-Agustus 1986 dan Panduan Pelaksanaan Perayaan 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang. Perbedaan data dalam kedua dokumen ini dapat dijadikan bahan studi dan penelitian lebih lanjut, guna memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap.