Ancaman Pembunuhan
Pengaruh Lombe` selaku Imam Aluk Todolo dan menguasai tradisi masyarakat Simbuang membuat ia mudah diterima. Pada Nopember 1913, enam kepala keluarga mengaku masuk Kristen, semuanya berasal dari golongan bangsawan menurut strata sosial masyarakat Simbuang (Ma’dika). Mereka adalah Tea’ (Ambe’ Eppang), Tori’ (Ambe’ Laen), Tullu, Ruru (Ambe’ Masseng), Belayan dan Burambu.
Setelah orang-orang besar itu mengaku masuk Kristen, mulailah muncul niat jahat untuk membunuh Lombe. Anjurannya yang terkenal adalah ”Barangsiapa yang berhasil membunuh Lombe’ dalam jangka dua minggu ini akan mendapat hadiah dua ekor kerbau sangpala` (limang tepo)”.
Akan tetapi niat jahat ini diketahui Lombe’ melalui seorang yang langsung mendengar kesepakatan itu. Lombe’ mengadakan giliran ronda. Setiap 24 jam ada empat orang yang terdiri dari keluarga dan sahabat karib Lombe’ melakukuan ronda. Menjelang akhir masa dua, penjagaan diperketat. Sekitar pukul 23.00 datanglah tiga orang mendekati rumah berniat membunuh Lombe’, salah satunya bernama Arra`.
Lombe’ mengintip dari atas rumah dan menegur mereka dengan menyebutkan kata-kata: ”E... sangmaneku Arra` dau bo’yoi’ kalemu lakadake lako kaleku. Maela` pi na mane nalambi` lampakku. Membea’pi alukNA Tomemata solo’ To urrande pala’ ma’rupa tau kumane mate. Ma’tingpi uai mantirri’ ma’tanpi kalomba’ nabawa angin, madinginpi bu’tuna kulla’ namanena’ mate”. Ketiga orang tadi pulang dan hanya mengucapkan satu kalimat: ”Todisuakan kami”.
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian akhir)
Membangun Gereja
Demi kesinambungan program pekabaran Injil di Simbuang dan sekitarnya, maka sebelum akhir tahun 1924 Lombe’ membawa seorang putra kelahiran Simbuang ke Sangalla` untuk disekolahkan di sana. Namanya D. Eppang. Setelah tamat sekolah V.O. di Sangalla’, Eppang mengajar sebagai guru sekolah. Ia kemudian melanjutkan sekolah pendeta Gereja Toraja di Barana’ pada tahun 1949. Setelah itu ia dipanggil dan diurapi sebagai Pendeta di Rantebua.
Lombe’ mengajak orang-orang Simbuang yang sudah dibaptis untuk membangun sebuah gedung gereja. Inilah cikal bakal berdirinya Jemaat Sima. Gereja di Jemaat Sima mulai dibangun tahun 1924 dan selesai satu tahun kemudian. Penahbisannya dilakukan tahun 1935.
Memanggil Pendeta
Sebelum penjajahan Jepang, Lombe’ telah berusaha sedemikian rupa agar ada pendeta yang menetap di Simbuang. Tetapi usaha ini barulah terlaksana pada tahun 1943, ketika B. Tulling dipanggil dan diurapi oleh Jemaat Sima. Wilayah pelayanannya meliputi Klasis Simbuang dan Klasis Mappak sekarang ini.
Krisis ekonomi saat Jepang menjajah Indonesia berdampak sampai ke desa-desa. Kehidupan menjadi sangat sulit. Tetapi keinginan luhur untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat, Lombe’ dan orang Kristen Simbuang merintis kemandirian jemaat dalam hal memanggil pendeta. Dengan demikian, sebelum Sinode I Gereja Toraja, Jemaat Sima telah menjadi contoh yang baik dalam mewujudkan kemandirian jemaat di tengah krisis. Inilah untuk pertama kalinya dalam Gereja Toraja, pemanggilan dan pengurapan Pendeta dilakukan atas panggilan Jemaat. Pada saat itu pendeta-pendeta yang bertugas masih dikenal sebagai pendeta Zending.
Komitmen Mendukung Pendeta
Lombe’ adalah contoh penatua yang sungguh mendukung pelayanan pendeta. Ia menjadi penatua sejak tahun 1924 (sesudah dibaptis) sampai awal tahun 1960-an. Ia sangat menekankan keberadaan seorang Pendeta dalam Jemaat.
Pernah terjadi bahwa Jemaat Sima mengalami kekosongan pelayan Pendeta, ketika Pdt. D. Amba dipindahkan ke Ulusalu Rembon. Kekosongan terjadi dari Januari sampai Mei 1979. Pada saat itu Majelis Gereja dan sebagian anggota jemaat berpendapat bahwa ada baiknya Jemaat Sima belum memanggil pendeta lagi agar jemaat berfokus untuk mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan sebagai jaminan pendeta. Apabila dana sudah cukup banyak, barulah memanggil pendeta, supaya jaminannya tidak tersendat-sendat.
Lombe’ tampil menentang ide ini. Ia mengumpulkan Majelis Gereja Jemaat Sima ke rumahnya. Lombe’ menyampaikan nasihatnya dengan tegas bahwa pemanggilan seorang pendeta dalam suatu jemaat sangat penting. Menurut Lombe’, jemaat tanpa pendeta bagaikan anak yatim piatu. Ia sangat tegas menentang jemaat yang ingin menunda pemanggilan pendeta. ”Kalian bertegas untuk tidak memanggil pendeta, maka siapkah diantara kalian berani untuk melayani tugas pelayanan pendeta ?”. Tidak ada satupun majelis gereja yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Keesokan harinya, surat dari Jemaat Sima dikirim untuk memanggil pendeta yang baru. Tidak lama kemudian Pdt. Jhon Matalangi’ diutus untuk melayani di Jemaat Sima.
Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)
Catatan : kisah ini disadur dari surat Majelis Gereja Jemaat Sima sebagaimana dibuat dalam Bulletin Gereja Toraja Edisi 7/8 Tahun XVI, Juli-Agustus 1986 dan Panduan Pelaksanaan Perayaan 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang. Perbedaan data dalam kedua dokumen ini dapat dijadikan bahan studi dan penelitian lebih lanjut, guna memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap.